Hanya bisa melihat
angin yang mengibas rambut acaknya, aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan, dari
tempat yang tak mungkin ia tahu bahwa aku sedang menatapnya dalam, membayangkanya
dalam isi otak ini, isi yang tak akan pernah diketahui siapapun, karena mungkin akan bertahun tahun
bagi seseorang bisa menemukan alat scanner otak. Jadi aku hanya bisa menyimpan
gambar tentang sosok yang kini singgah di hati ini. Seseorang yang telah lama
mengisi kekosongan relung hati ini. Relung sepi tanpa seorang dambaan hati.
Entah memang nasibku yang selalu naas, ataukah memang telah digariskan oleh
Tuhan, haruskah aku hidup dalam kedustaan, aku tak bisa mengungkapkan apa yang aku rasakan saat ini. Mulut ini
terasa kelu apabila ingin mengakuinya,
tercekat seolah menelan biji kedondong sebesar ibu jari. Dan aku
merasakan sakit yang luar biasa hebat saat melihat ia bersama orang lain. Perasaan
ini terus berkecamuk didalam hati ini. Perasaan yang harusnya aku kubur dalam.
Aku pendam. Tapi, perasaan ini terus merangkak mengoyak hati seolah ingin
keluar. Jika diibaratkan layaknya tangan yang berusaha keluar dari sebuah
pusara. Tapi tidak ada daya buatku. Tidak ada keberanian buatku. Semuanya harus
aku sembunyikan, meski ini akan sangat sakit buatku. Tapi akan lebih sakit jika
ia tahu tentang perasaan ini.
Entah
sampai kapan perasaan ini akan bertahan, terus berparasit dalam hati. Aku juga
tak tahu. Kata orang cinta tak harus memiliki. Tapi aku ingin memilikinya. Aku
ingin sangat egois menyayanginya. Mencintainya setulus hati, tanpa adannya rasa
malu yang terus kusimpan dalam lubuk ini. Dan yang kulakukan saat ini adalah
dengan terus melihatnya, memandangnya, menemuinya, mengobrol dengannya, ataupun
mencari-cari luang dimana aku bisa terus melihatnya. Setidaknya, aku merasa
senang hanya dengan menjadi pengagum rahasianya.
Meskipun
kadang rasa sakit menyerang dan membelenggu hingga ulu hati. Aku tahu ini
sangat perih, batinku berteriak menjerit hebat, membuat hati ini begitu rapuh,
rapuh terluluh-lantahkan, layaknya debur ombak yang datang menyerbu istana
pasir.
Garis wajah yang indah, aku tak pernah lupa dengan detail
wajah itu, wajah yang selama ini aku kagumi, aku simpan memori itu di dalam
hati dan pikiran ini. Wajah yang begitu mendamaikan hati, begitu menenangkan
hati. Telah lama berada di ruang spesial bernama hati. Dan sampai detik ini,
perasaan ini tidak berubah, tidak kutepis
bahwa aku tertarik padanya, bahwa aku menyukainya, perasaan yang tidak
biasa. Perasaan berdesir saat memandangnya, perasaan yang seolah membuat
perasaan ini serasa melayang, terbang dengan damai. Dia layaknya senja yang romantis
yang mampu mendamaikan hati ini, menyejukan perasaan ini. Aku tak tahu akan
sampai kapan aku menyimpan perasaan ini. Aku tak mampu untuk mengatakan “aku
suka kamu” kepadanya, ini terdengar klise, aneh buatku. Aku tidak gengsi untuk
ini. Tapi, jujur saja aku takut mengatakannya. Kenapa? Pikiran-pikiran buruk
yang selalu mengganggu benak ini selalu membuatku khawatir, membuatku cemas. Ku
takut, kalau saja aku bilang suka, dan dia tidak punya perasaan yang sama kepadaku, aku takut aku
harus menelan ludah ini. Aku takut tidak bisa melihatnya lagi, aku takut dia
menjauh, aku takut aku tak bisa berbicara lagi dengannya. Aku takut dengan
semua resiko itu. Aku takut!
“Hei!”
Seseorang menepuk pundakku. Seketika aku tersadar dari
lamunanku. Aku berbalik segera melepas headseat yang terpasang dikupingku.
Suara yang kudengar tidak asing dan terdengar begitu lembut. Belum sempat aku
menatap wajah si penepuk pundak, aku sedang berusaha memutar otak mencari-cari
memori tentang suara yang barusan aku dengar.
Suara itu? Begitu familir. Tak ingin aku terburu-buru menatap si penepuk
pundak. Bagai petir tanpa hujan menyambarku dengan hebat. Aku ingat, suara
siapa ini!
Aku segera menatap si penepuk pundak.
Barharap ada mesin penghenti waktu. Berharap menggenggam
remote waktu sehingga dengan sesuka hati aku bisa ‘mem-pause’ scene selama
mungkin aku mau, untuk menikmati wajah makhluk Tuhan dihadapanku. Tiba-tiba
napasku seolah tercekat. Kurasakan sesak dan nyeri di bagian perut yang tak
bisa ku jelaskan nyeri apa itu?
‘Tuhan, aku tak ingin mati disini!’ lirihku dalam benak
ini. Perasaan ini menjadi Random. Tak ku kira bakal secomplicated ini. Aku
benar-benar sedang berdiri dihadapan sosok yang selama ini menghias indah
anganku, sosok yang kuharapkan bisa menghabiskan sepanjang waktuku bersamanya.
Iya! Dia. Dia. Herlan!
Dia tersenyum tipis lalu mengembangkan senyumnya begitu
lebar hingga gigi putih yang berderet rapi terlihat. Begitu manis. Aku
melayang! Dan benar benar membuatku lemas.
“Hei!”
Aku masih terdiam tak percaya aku disapa olehnya.
Sadarkan aku kalau ini mimpi Tuhan!
Saat itu aku hanya terus melongo tanpa membalas sedikit
pun sapaannya.
“Are you ok?” Tanyanya sambil menjentikan jari didepan
wajahku.
Aku masih tak percaya. Dan aku berusaha untuk tetap
‘calm’ dan menahan rasa gugup ini sedemikian rupa. Aku pun berusaha menjawab,
“Emm, it’s Ok, Everything is fine!” hanya kata tersebut
yang mampu keluar dari mulutku. Aku sadar tak ada orang disekitarku, suasana
begitu sepi,kemana semua orang? Tapi ini kesempatan langka yang sangat aku
harapkan bisa berdua bersama orang yang aku kagumi. Tapi ada sesuatu yang
mengganjal, aku yang tengah bersandar di depan kelas sedari tadi, tak melihat
siswa yang bercengkrama dikelas ataupun berjalan di sekitar lapangan. Sungguh
aneh. Tapi aku berusaha tak peduli, yang kupikirkan sekarang adalah sosok
didepan mataku saat ini. Sosok yang begitu tampan hadir dengan live tepat
didepan mataku.
“Adelin!” panggilnya lirih kepadaku.
Kulihat matanya begitu sayu, bibirnya yang tipis berwarna
pink seolah akan terbuka, ingin melanjutkan kata-kata yang ia ingin ucapkan.
“Her..Laan!” Ucapku terbata menahan gugup.
Herlan menarik napas panjang, membuat dada dan bahunya
terangkat. Lalu menghembuskannya perlahan.
“ Entah harus memulai pembicaraan ini darimana? Aku tak
bisa menahan perasaan ini berlarut-larut hingga menumpuk menjadi jamur di dalam
hatiku, satu hal yang ingin aku katakan, aku menyukaimu.”
“Dor!” ibarat
seorang menarik senapan kearahku. Aku hanya terdiam, terpaku, tak percaya dengan
kata-kata yang ia ucapkan. Mustahil! Aku berusaha tetap kukuh, nyatanya hatiku
benar benar melting. Aku ingin lari dan melompat didepan kereta yang melaju
kencang diatas rel.
“Adelin, maaf sebelumnya. Aku tak ingin membuatmu shock!
Tapi sungguh aku telah lama memendam tumpukan perasaan ini kepadamu. Entah akan
ada jawaban apa dari mulut mungilmu, tapi aku percaya, kau gadis yang bijak.
Aku akan sanggup mendengar jawabanmu.
Aku tak percaya, rasanya ingin sekali aku menangis, ingin
sekali aku menjerit. Entah aku harus bahagia atau bersedih. Tapi aku
benar-benar tak menyangka dengan hal mustahil ini. Akhirnya tongkang hati ini
bisa dilabuhkan tanpa harus menurunkun jangkar terlebih dahulu.
Mataku mengaca, dan tak bisa ku tahan lagi, air mata
menetes, berlinang membasahi pipi ini. Tanpa aku tunda lagi aku akan merespon
dan mengatakan ‘iya’ dengan lantang kepadanya.
Aku menangis bahagia.
“Herlan!” lirihku.
Ia mendengarkan dengan seksama.
“Terimakasih! Setidaknya aku tak harus mengucapkan
terlebih dahulu kepadamu. Sejujurnya aku juga menyuka…” Belum sempat aku
menuntaskan kalimatku, sosok di hadapanku tiba-tiba berubah menjadi serpihan
terang yang kemudian berubah menjadi molekul-molekul yang lambat-laun
menghilang dari hadapanku. Ia menyisakan seulas senyum tipis kemudian ia
benar-benar lenyap dari hadapanku.
Ini semua hanya khayalan. Aku menangis. Air mata semakin
membanjiri. Ini cuma imajinasiku. Aku terlalu berharap semuanya nyata.
Aku terlalu banyak mengkhayal. Padahal tidak terjadi
apa-apa. Aku hanya berhalusinasi.
“Hei!” seorang menepuk pundakku. Aku berusaha tak
memperdulikannya. Yang aku lakukan hanyalah aku buru-buru menghapus air mataku.
“Are you ok!” tanyanya sopan kepadaku. Suaranya tak asing,
seperti suara Herlan. Tapi kali ini aku benar-benar tak peduli dan tak ingin
memandang sosok didepanku.
“Tidak usah memperdulikanku.” Jawabku ketus menunduk
menyembunyikan tangisku.
“Tidak baik seorang gadis berkata demikian kepada seorang
yang menanyainya baik-baik.” Responnya halus kepadaku.
“Tidak usah mengajariku. Aku baik baik saja.”
Sosok itu menarik napasnya dalam, tangan kananya meraih
saku celana dan mengeluarkan kain berwarna biru dan memberikannya kepadaku.
“Sepertimya kamu membutuhkan ini!” Dia memberikannku
sebuah sapu tangan berwarna biru bergaris kepadaku.
Aku masih berusaha tak peduli dengan perhatiannya.
“Jangan takut, aku sama sekali belum pernah
menggunankannya. Jadi jangan khawatir kamu tertular penyakit dariku!
Aku berusaha menahan tangis. Belum pernah ada pria yang
memperlakukanku sebaik ini. Aku pun makin terharu dan refleks meraih sapu
tangan itu dari tangan kanannya.
“Terima-kasih” isakku dalam tangis.
Sosok itupun akhirnya berbalik dan menjauh dariku. Ada
perasaan ingin tahu, siapakah orang itu? Akupun mendongak dan melihat sosok
yang hampir kabur dan samar oleh air mataku. Kemudian aku berusaha menyeka air
mata yang menghalangi pandangannku. Sosok itupun pergi, dan menghilang. Aku
terlalu jahat kepadanya. Dan setelah sosok itu pergi aku terus menggengam sapu
tangan itu dengan perasaan bersalah kepadanya. Tak sengaja aku meraba sebuah
bordir jahitan yang bertuliskan nama si pemilik sapu tangan. Dan aku
terperangah kaget penuh penyesalan.
HERLAN