Bung karno pernah berkata, “ Perjuanganku lebih
mudah karena mengusir penjajah. Tetapi perjuanganmu akan lebih sulit melawan
bangsamu sendiri”. Seuntai kalimat di masa lalu menjadi fakta di masa kini.
Sebuah ungkapan yang dapat diakui keabsahannya di masa sekarang. Tahun ular air
membuka harapan bagi para penjemput mimpi, bagi para pemuda penerus bangsa,
bagi para remaja yang berekspektasi.
Pemuda
adalah mereka yang berusia antara 10-24 tahun, mereka generasi penerus bangsa
yang akan mewarisi negeri ini, mereka yang mempunyai jutaan mimpi, dan di wajah
merekalah terbentang harapan Indonesia.
Berbicara
tentang harapan Indonesia, tentang harapan negeri ini. Tentang negeri yang hampir
kehilangan identitas ini. Negeri kita, Negara
Indonesia dengan kekayaan yang melimpah, kekayaan akan budaya, kekayaan
akan warisan leluhur, hampir kehilangan identitas bangsa akan budaya, tradisi,
bahasa daerah, bahkan bahasa nasional yang mepersatukan warga Negara Indonesia
dari sabang sampai merauke ini hampir hilang karena keterpurukan zaman. Dan
siapa yang patut disalahkan atas kepiluan ini? Tentunya yang paling mutlak
disalahkan dalam kasus ini adalah Era Globalisasi. Era tanpa sekat, fenomena
multidimensi dimana kemajuan teknologi dan akulturasi budaya barat menyerang
bangsa sedemikian rupa. Mengepung bangsa tanpa ampun dimana generasi penerus bangsa telah terjangkit akan
virus multiteknologi yang semakin memodernisasi. Terjebur dalam kubangan dampak
teknologi.
Seperti
kita tahu,salah satu aspek paling berpengaruh akan dampak teknologi adalah
bahasa. Fenomena bahasa gaul telah menjangkit keseluruh negeri terutama para
remaja. Keberadaan bahasa Indonesia yang tidak terencana, tidak terpola dengan
baik, apa saja bisa masuk. Baik pada percakapan maupun pada deskripsi bahasa
yang dipakai adalah bahasa gaul, bahasa prokem, bahasa slang, bahasa alay yang
kadang hanya dimengerti oleh anak remaja. Bagaimana tidak? Lihatlah tayangan
televisi setiap harinya, contohnya saja sinetron, awalnya hanya sebagai media
hiburan semata akan tetapi semuanya beralih
fungsi sebagai upaya penaikan rating tanpa ada upaya mendidik dan bernilai
edukasi. Kadang tayangan televisi menghadirkan tontonan yang tidak layak
tonton, hanya mementingkan rating semata. Itulah potret negeri dimana modal
lebih berbicara daripada moral.
Dan
disinilah identitas bangsa akan bahasa hilang, padahal Negara tetangga contoh
saja india sangat iri dengan bahasa
Indonesia yang dapat mempersatukan jutaan rakyat Indonesia. Sungguh ironis
memang tapi nyatanya demikian tidak ada
yang dapat membendung arus globalisasi saat ini, yang diperlukan adalah
kesadaran akan nasionalisme masyarakat terutama remaja akan bahasa Indonesia.
Lalu
apa kabar dengan moral bangsa? Moral pemuda? Dan moral para petinggi negeri?
Sungguh tragis melihat setiap harinya berita yang tertulis di media cetak akan
tawuran remaja, warga, kasus pernikahan siri dan perceraian bahkan kasus
korupsi yang melanda negeri sejak zaman reformasi. Inilah bukti bahwa ucapan
yang diungkapkan Bung Karno dibenarkan.
Dan
bagaimana akan harapan, ekspektasi, akan resolusi untuk negeri ini? Untuk
semangat para generasi muda, generasi penerus bangsa?
Kecintaan akan bahasa dapat tumbuh melalui
sastra dan caranya adalah dengan meningkatkan budaya gemar membaca sehingga
tumbuh keinginan untuk membuat sebuah prosa menjadi karya sastra yang dapat
mengembalikan identitas bangsa. Karena budaya gemar membaca dapat membangkitkan
motivasi, menggugah perasaan dan juga melatih otak kanan untuk berusaha
menyimpulkan, karena imajinasi manusia berkembang saat membaca.
Dan tahukah bahwa imajinasi lebih
penting daripada pengetahuan? Karena pengetahuan menciptakan masalah tetapi pengetahuan
pulalah yang menyelesaikannya.untuk itu budaya gemar membaca ini akan sangat
penting untuk mengembalikan identitas bangsa yang hampir hilang. Dan tidak
hanya itu kemajuan teknologi yang merupakan pengaruh besar akan sangat membantu
apabila teknologi yang ada dapat diimbangi pula oleh
perkembangan kecerdasan manusia bukan dalam hal intelegent saja, tetapi harus
diimbangi oleh kecerdasan spiritual agar penggunaan teknologi ini tidak secara berlebih dan masih
memperhatikan nilai norma dan moral yang berlaku. Dan tidak hanya itu pula
harapan remaja terhadap teknologi. Mereka juga berharap teknologi itu tidak
menggeser nilai budaya tradisional dan tidak membuat merosotnya nasionalisme
kaum remaja karena di era ini kadang remaja malu akan budaya sendiri. Mereka
lebih condong ke budaya yang western alias kebarat-baratan. Mereka tercebur ke
dalam euforia budaya yang mengagung agungkan kemutakhiran dan modernisasi.
Dan jangan tanyakan apa yang bisa negara berikan padamu
tetapi tanyakanlah apa yang bisa kamu berikan pada negara, karena hari yang
akan datang bagi tanah air dan bangsa terletak pada hari sekarang dan hari
sekarang itu adalah anda, pemuda pemudi.
Disadur dari: blog sahabatku Lulu Zuhriyah http://lulusangmutiara.blogspot.com