Mengenai Saya

Jumat, 27 September 2013

CERPEN: SECRET ADMIRER

Hanya bisa melihat angin yang mengibas rambut acaknya, aku hanya bisa memandangnya dari kejauhan, dari tempat yang tak mungkin ia tahu bahwa aku sedang menatapnya dalam, membayangkanya dalam isi otak ini, isi yang tak akan pernah diketahui  siapapun, karena mungkin akan bertahun tahun bagi seseorang bisa menemukan alat scanner otak. Jadi aku hanya bisa menyimpan gambar tentang sosok yang kini singgah di hati ini. Seseorang yang telah lama mengisi kekosongan relung hati ini. Relung sepi tanpa seorang dambaan hati. Entah memang nasibku yang selalu naas, ataukah memang telah digariskan oleh Tuhan, haruskah aku hidup dalam kedustaan, aku tak bisa mengungkapkan  apa yang aku rasakan saat ini. Mulut ini terasa kelu apabila ingin mengakuinya,  tercekat seolah menelan biji kedondong sebesar ibu jari. Dan aku merasakan sakit yang luar biasa hebat saat melihat ia bersama orang lain. Perasaan ini terus berkecamuk didalam hati ini. Perasaan yang harusnya aku kubur dalam. Aku pendam. Tapi, perasaan ini terus merangkak mengoyak hati seolah ingin keluar. Jika diibaratkan layaknya tangan yang berusaha keluar dari sebuah pusara. Tapi tidak ada daya buatku. Tidak ada keberanian buatku. Semuanya harus aku sembunyikan, meski ini akan sangat sakit buatku. Tapi akan lebih sakit jika ia tahu tentang perasaan ini.
Entah sampai kapan perasaan ini akan bertahan, terus berparasit dalam hati. Aku juga tak tahu. Kata orang cinta tak harus memiliki. Tapi aku ingin memilikinya. Aku ingin sangat egois menyayanginya. Mencintainya setulus hati, tanpa adannya rasa malu yang terus kusimpan dalam lubuk ini. Dan yang kulakukan saat ini adalah dengan terus melihatnya, memandangnya, menemuinya, mengobrol dengannya, ataupun mencari-cari luang dimana aku bisa terus melihatnya. Setidaknya, aku merasa senang hanya dengan menjadi pengagum rahasianya.
Meskipun kadang rasa sakit menyerang dan membelenggu hingga ulu hati. Aku tahu ini sangat perih, batinku berteriak menjerit hebat, membuat hati ini begitu rapuh, rapuh terluluh-lantahkan, layaknya debur ombak yang datang menyerbu istana pasir.
            Garis wajah yang indah, aku tak pernah lupa dengan detail wajah itu, wajah yang selama ini aku kagumi, aku simpan memori itu di dalam hati dan pikiran ini. Wajah yang begitu mendamaikan hati, begitu menenangkan hati. Telah lama berada di ruang spesial bernama hati. Dan sampai detik ini, perasaan ini tidak berubah, tidak kutepis  bahwa aku tertarik padanya, bahwa aku menyukainya, perasaan yang tidak biasa. Perasaan berdesir saat memandangnya, perasaan yang seolah membuat perasaan ini serasa melayang, terbang dengan damai. Dia layaknya senja yang romantis yang mampu mendamaikan hati ini, menyejukan perasaan ini. Aku tak tahu akan sampai kapan aku menyimpan perasaan ini. Aku tak mampu untuk mengatakan “aku suka kamu” kepadanya, ini terdengar klise, aneh buatku. Aku tidak gengsi untuk ini. Tapi, jujur saja aku takut mengatakannya. Kenapa? Pikiran-pikiran buruk yang selalu mengganggu benak ini selalu membuatku khawatir, membuatku cemas. Ku takut, kalau saja aku bilang suka, dan dia tidak punya  perasaan yang sama kepadaku, aku takut aku harus menelan ludah ini. Aku takut tidak bisa melihatnya lagi, aku takut dia menjauh, aku takut aku tak bisa berbicara lagi dengannya. Aku takut dengan semua resiko itu. Aku takut!
            “Hei!”
            Seseorang menepuk pundakku. Seketika aku tersadar dari lamunanku. Aku berbalik segera melepas headseat yang terpasang dikupingku. Suara yang kudengar tidak asing dan terdengar begitu lembut. Belum sempat aku menatap wajah si penepuk pundak, aku sedang berusaha memutar otak mencari-cari memori tentang suara yang barusan aku dengar.  Suara itu? Begitu familir. Tak ingin aku terburu-buru menatap si penepuk pundak. Bagai petir tanpa hujan menyambarku dengan hebat. Aku ingat, suara siapa ini!
            Aku segera menatap si penepuk pundak.
            Barharap ada mesin penghenti waktu. Berharap menggenggam remote waktu sehingga dengan sesuka hati aku bisa ‘mem-pause’ scene selama mungkin aku mau, untuk menikmati wajah makhluk Tuhan dihadapanku. Tiba-tiba napasku seolah tercekat. Kurasakan sesak dan nyeri di bagian perut yang tak bisa ku jelaskan nyeri apa itu?
            ‘Tuhan, aku tak ingin mati disini!’ lirihku dalam benak ini. Perasaan ini menjadi Random. Tak ku kira bakal secomplicated ini. Aku benar-benar sedang berdiri dihadapan sosok yang selama ini menghias indah anganku, sosok yang kuharapkan bisa menghabiskan sepanjang waktuku bersamanya. Iya! Dia. Dia. Herlan!
            Dia tersenyum tipis lalu mengembangkan senyumnya begitu lebar hingga gigi putih yang berderet rapi terlihat. Begitu manis. Aku melayang! Dan benar benar membuatku lemas.
            “Hei!”
            Aku masih terdiam tak percaya aku disapa olehnya. Sadarkan aku kalau ini mimpi Tuhan!
            Saat itu aku hanya terus melongo tanpa membalas sedikit pun sapaannya.
            “Are you ok?” Tanyanya sambil menjentikan jari didepan wajahku.
            Aku masih tak percaya. Dan aku berusaha untuk tetap ‘calm’ dan menahan rasa gugup ini sedemikian rupa. Aku pun berusaha menjawab,
            “Emm, it’s Ok, Everything is fine!” hanya kata tersebut yang mampu keluar dari mulutku. Aku sadar tak ada orang disekitarku, suasana begitu sepi,kemana semua orang? Tapi ini kesempatan langka yang sangat aku harapkan bisa berdua bersama orang yang aku kagumi. Tapi ada sesuatu yang mengganjal, aku yang tengah bersandar di depan kelas sedari tadi, tak melihat siswa yang bercengkrama dikelas ataupun berjalan di sekitar lapangan. Sungguh aneh. Tapi aku berusaha tak peduli, yang kupikirkan sekarang adalah sosok didepan mataku saat ini. Sosok yang begitu tampan hadir dengan live tepat didepan mataku.
            “Adelin!” panggilnya lirih kepadaku.
            Kulihat matanya begitu sayu, bibirnya yang tipis berwarna pink seolah akan terbuka, ingin melanjutkan kata-kata yang ia ingin ucapkan.
            “Her..Laan!” Ucapku terbata menahan gugup.
            Herlan menarik napas panjang, membuat dada dan bahunya terangkat. Lalu menghembuskannya perlahan.
            “ Entah harus memulai pembicaraan ini darimana? Aku tak bisa menahan perasaan ini berlarut-larut hingga menumpuk menjadi jamur di dalam hatiku, satu hal yang ingin aku katakan, aku menyukaimu.”
            “Dor!”  ibarat seorang menarik senapan kearahku. Aku hanya terdiam, terpaku, tak percaya dengan kata-kata yang ia ucapkan. Mustahil! Aku berusaha tetap kukuh, nyatanya hatiku benar benar melting. Aku ingin lari dan melompat didepan kereta yang melaju kencang diatas rel.
            “Adelin, maaf sebelumnya. Aku tak ingin membuatmu shock! Tapi sungguh aku telah lama memendam tumpukan perasaan ini kepadamu. Entah akan ada jawaban apa dari mulut mungilmu, tapi aku percaya, kau gadis yang bijak. Aku akan sanggup mendengar jawabanmu.
            Aku tak percaya, rasanya ingin sekali aku menangis, ingin sekali aku menjerit. Entah aku harus bahagia atau bersedih. Tapi aku benar-benar tak menyangka dengan hal mustahil ini. Akhirnya tongkang hati ini bisa dilabuhkan tanpa harus menurunkun jangkar terlebih dahulu.
            Mataku mengaca, dan tak bisa ku tahan lagi, air mata menetes, berlinang membasahi pipi ini. Tanpa aku tunda lagi aku akan merespon dan mengatakan ‘iya’ dengan lantang kepadanya.
            Aku menangis bahagia.
            “Herlan!” lirihku.
            Ia mendengarkan dengan seksama.
            “Terimakasih! Setidaknya aku tak harus mengucapkan terlebih dahulu kepadamu. Sejujurnya aku juga menyuka…” Belum sempat aku menuntaskan kalimatku, sosok di hadapanku tiba-tiba berubah menjadi serpihan terang yang kemudian berubah menjadi molekul-molekul yang lambat-laun menghilang dari hadapanku. Ia menyisakan seulas senyum tipis kemudian ia benar-benar lenyap dari hadapanku.
            Ini semua hanya khayalan. Aku menangis. Air mata semakin membanjiri. Ini cuma imajinasiku. Aku terlalu berharap semuanya nyata.
            Aku terlalu banyak mengkhayal. Padahal tidak terjadi apa-apa. Aku hanya berhalusinasi.
            “Hei!” seorang menepuk pundakku. Aku berusaha tak memperdulikannya. Yang aku lakukan hanyalah aku buru-buru menghapus air mataku.
            “Are you ok!” tanyanya sopan kepadaku. Suaranya tak asing, seperti suara Herlan. Tapi kali ini aku benar-benar tak peduli dan tak ingin memandang sosok didepanku.
            “Tidak usah memperdulikanku.” Jawabku ketus menunduk menyembunyikan tangisku.
            “Tidak baik seorang gadis berkata demikian kepada seorang yang menanyainya baik-baik.” Responnya halus kepadaku.
            “Tidak usah mengajariku. Aku baik baik saja.”
            Sosok itu menarik napasnya dalam, tangan kananya meraih saku celana dan mengeluarkan kain berwarna biru dan memberikannya kepadaku.
            “Sepertimya kamu membutuhkan ini!” Dia memberikannku sebuah sapu tangan berwarna biru bergaris kepadaku.
            Aku masih berusaha tak peduli dengan perhatiannya.
            “Jangan takut, aku sama sekali belum pernah menggunankannya. Jadi jangan khawatir kamu tertular penyakit dariku!
            Aku berusaha menahan tangis. Belum pernah ada pria yang memperlakukanku sebaik ini. Aku pun makin terharu dan refleks meraih sapu tangan itu dari tangan kanannya.
            “Terima-kasih” isakku dalam tangis.
            Sosok itupun akhirnya berbalik dan menjauh dariku. Ada perasaan ingin tahu, siapakah orang itu? Akupun mendongak dan melihat sosok yang hampir kabur dan samar oleh air mataku. Kemudian aku berusaha menyeka air mata yang menghalangi pandangannku. Sosok itupun pergi, dan menghilang. Aku terlalu jahat kepadanya. Dan setelah sosok itu pergi aku terus menggengam sapu tangan itu dengan perasaan bersalah kepadanya. Tak sengaja aku meraba sebuah bordir jahitan yang bertuliskan nama si pemilik sapu tangan. Dan aku terperangah kaget penuh penyesalan.

HERLAN


Tidak ada komentar:

Posting Komentar